anekaniagaindonesia.id Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
Dalam Pasal 10 UU Hak Tanggungan dijelaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan).
Di dalam APHT wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
APHT yang telah ditandatangani tersebut beserta warkah lain yang diperlukan akan dikirimkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan guna pendaftaran pemberian hak tanggungan (Pasal 13 ayat (2) jo. Pasal 13 ayat (1) UU Hak Tanggungan).
Baca juga: Ini Dia 7 Tantangan Kebijakan Pengembangan Sektor Mamin
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 13 ayat (3) UU Hak Tanggungan).
Pendaftaran hak tanggungan ini diperlukan karena hak tanggungan lahir pada tanggal buku tanah hak tanggungan (Pasal 13 ayat (5) UU Hak Tanggungan).
Yang mana tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya (Pasal 13 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
Oleh karena itu, jika atas jaminan tersebut tidak dibuatkan APHT, maka objek jaminan tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai objek jaminan hak tanggungan.
Jika tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tersebut tidak pernah lahir/tidak pernah ada.
Jika jaminan hak tanggungan tersebut tidak pernah lahir, maka kreditur tidak berkedudukan sebagai kreditur yang didahulukan (kreditur separatis) untuk mendapatkan pelunasan utang debitur.
Baca juga: Varietas Kedelai di Indonesia: Keanekaragaman yang Mewarnai Tanah Air
Berbeda halnya jika APHT tersebut dibuat dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan.
Jika hak tanggungan tersebut telah didaftarkan, maka apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 21 UU Hak Tanggungan).
Mengenai penyelesaiannya, baik kreditor konkuren maupun kreditor separatis (kreditur yang memiliki jaminan/kreditur yang didahulukan), keduanya harus mengajukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
“Selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.”
Jadi, yang menjadi permasalahan karena tidak adanya APHT adalah kreditur tersebut tidak didahulukan dalam pemenuhan piutangnya.